Menelisik Arisan OTT Kepala Daerah Oleh Satgas KPK
Selasa, 26 September 2017, 17:26 WIB
Oleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di kawasan Pejaten Timur Jakarta Selatan.
Bisnisnews.id-Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepala daerah oleh Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti arisan. Masing-masing kepala daerah menunggu giliran, kapan waktunya akan kena ciduk.
Jumat (22/09/2017) KPK kembali menciduk kepala daerah dalam OTT. Kali ini giliran Wali Kota Cilegon, Banten, Tb Iman Ariyadi. Jadi, dalam bulan September saja, KPK membekuk tiga kepala daerah. Dua sebelumnya adalah Eddy Rumpoko, Wali Kota Batu, Jawa Timur, dan OK Arya Zulkarnaen, Bupati Batubara, Sumatera Utara.
Kalau dihitung selama sembilan bulan pada tahun 2017, KPK telah menciduk enam kepala daerah. Tiga kepala daerah lainnya adalah Wali Kota Tegal Siti Masitha (Agustus), Bupati Pamekasan Achmad Syafii Yasin (Agustus), dan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti (Juni).
Korupsi sekarang ternyata tidak membedakan jenis kelamin. Kepala daerah pria atau wanita sama saja. Sama-sama doyan makan uang rakyat. Data menunjukkan, setidaknya delapan kepala daerah perempuan berurusan dengan hukum akibat kasus korupsi.
Dari jumlah itu, lima di Jawa Tengah, satu Jawa Barat, satu Banten, dan satu Sulawesi Utara. Jadi, kepala daerah berparas cantik di Pulau Jawa tampaknya lebih berat godaannya, sehingga mereka tergiur korupsi (Lihat daftar di bawah tulisan ini).
Diduga, para kepala daerah sengaja, dengan kesadaran penuh, melakukan korupsi. Mereka bukan terpaksa atau dipaksa. Ada indikasi, mereka sudah membuat perencanaan matang. Tujuannya untuk mengumpulkan uang dan barang guna memperkaya diri. Dalam prosesnya, mereka mengkreasi rekayasa, modus, serta kata-kata sandi layaknya intelijen.
Korupsi pun disetting sebagai sebuah jaringan yang melibatkan banyak pihak. Misalnya, kepala daerah melibatkan dinas-dinas di bawahnya, anggota legislatif, dan pihak swasta. Mereka saling melindungi, saling menutupi. Mereka pun memiliki 'agen' di institusi pengawasan. Nah, itu sebabnya mereka dapat mengatur segala yang berurusan dengan kontrol, audit, dan supervisi.
Setidaknya, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie mengakui hal ini. "Inilah sebabnya, aparat penegak hukum tidak mudah melacak mereka," kata Marzuki dalam wawancara dengan Kompas TV belum lama ini.
Marzuki mencontohkan pengadaan barang dan jasa. Jika hanya dilakukan pemeriksaan administratif, semuanya beres, sesuai aturan. Tak ada kejanggalan atau penyimpangan. Tapi, sesungguhnya, pemenang tender sudah diatur. Konsultan sudah diatur. Penyuplai barang sudah diatur. Jenis dan merek barang sudah diatur. Pendek kata, semuanya sudah diatur.
Setali tiga uang dengan perizinan. Ini salah satu “lahan basah” untuk menangguk korupsi. Makin banyak perizinan, makin “basah kuyup” si kepala daerah. Sudah merupakan rahasia umum bahwa perizinan dijadikan komoditas yang diperdagangkan.
Kambing Hitam Ongkos Politik
Banya pihak, terutama politisi, menuding ongkos politik yang mahal menjadi penyebab semaraknya korupsi kepala daerah. Calon bupati dan wali kota harus mengeluarkan biaya puluhan miliar rupiah. Calon gubernur lebih mahal—misalnya di derah-derah di Pulau Jawa—harus menyiapkan modal Rp50-100 miliar.
Ketik sudah menduduki jabatan, si kepala daerah harus mengembalikan modal tadi. Kalau hanya mengandalkan gaji dan tunjangan, tidak memadai. Nah, mereka pun 'menciptakan 'sumber lain di luar gaji. Dan, yang paling gampang adalah korupsi.
Karen itu, solusi yang mereka tawarkan adalah meminimalisasi ongkos politik. Bahkan, sudah ada ide agar pemerintah menanggung ongkos politik dalam pilkada dan pilpres. Artinya, duit dari pajak rakyat akan digunakan untuk membiayai politisi dalam kontes jabatan.
Analisi dan solusi seperti ini sesungguhnya merupakan penyesatan dan pembohongan publik. Ongkos politik dijadikan 'kambing hitam'. Ini upaya politisi untuk membela diri, sekaligus mengelabui masyarakat.
Seba, logika sederhananya, kalau memang tidak mampu membayar ongkos politik, ya tidak usah mencalonkan diri dalam pilkada dan pilpres. Gampang kan? Yang terjadi adalah mereka ngotot menjadi calon.
Mengap ngotot? Karena mereka tahu, banyak sekali 'perangkat lunak' yang dapat 'ditransaksikan' tatkala sudah menduduki kursi kepala daerah. Ambil misal dalam hal perizinan. Satu perizinan di kabupaten dan kota di Pulau Jawa, kabarnya, dapat dijual Rp1-10 miliar. Berarti rata-rat Rp5 miliar.
Jik dalam satu tahun dikeluarkan minimal dua perizinan, berarti dalam lima tahun 10 perizinan. Si kepala daerah dapat mengantongi duit 10xRp5 miliar = Rp50 miliar. Ini dalam satu periode pemerintahan. Kalau terpilih dua periode, berarti dapat menangguk Rp100 miliar.
Untu level gubernur, harga perizinan lebih mahal. Khusus Provinsi DKI Jakarta lebih 'aduhai' agi. Mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah bilang kepada wartawan media massa cetak dan elektronik, kalau dia mau, dia sambil 'tidur' bisa dapat duit Rp1 triliun untuk perizinan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Syaratnya, kata Ahok, gubernur tidak usah 'macam-macam". Ikuti saja apa kemauan para pengusaha reklamasi (pengurukan laut). Ingat! Duit Rp1 triliun ini baru dari perizinan satu proyek.
Harta Keluarga Dirampas
Saat bersamaan, bukan rahasia lagi, partai politik (parpol) turut mendongkrak tinggi ongkos politik. Mereka mematok 'mahar' bagi calon kepala daerah dalam jumlah yang juga miliaran rupiah. Makin besar parpol, makin mahal 'mahar'-nya.
Dalam kadar tertentu, bahkan, parpol justru mendorong sang calon untuk menyalahgunakan jabatan. Misalnya, mereka meminta 'jatah' proyek dan perizinan tertentu jika si calon menang. Dengan demikian, si kepala daerah memikul 'beban' menyediakan semua itu saat mereka mengemban jabatan.
Uang 'mahar' tersebut, menurut rumor, diperuntukkan bagi ketua dan jajaran pengurus parpol serta biaya operasional partai. Rumor ini selalu dibantah oleh para politisi. Namun, banyak kader parpol sudah mengakui mereka 'diwajibkan' memberi donasi ke partai secara periodik.
Makanya, sulit dibantah, para politisi calon kepala daerah dan parpol sudah bekerja sama membuat rencana matang sejak awal untuk menjarah jabatan kepala daerah. Buktinya, kan sangat banyak kepala daerah yang sudah teken pakta integritas tapi terjerat OTT KPK.
Lantas, bagaimana solusinya? Yah, harus dibuat undang-undang (UU) antikorupsi yang 'galak'. Di dalamnya diatur, siapa pun yang terbukti korupsi maka semua harta kekayaannya, termasuk kekayaan keluarganya, dirampas untuk negara.
Bersamaan dengan itu, hukuman fisik bagi koruptor pejabat negara diperberat. Misalnya, minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup, diiringi dengan pencabutan hak politik mereka.
Namun, karena pembuat UU adalah pemerintah bersama-sama DPR, rasanya mereka tidak akan mau menelurkan UU seperti itu. Sebagian besar mereka kan politisi. Sama saja artinya mereka bunuh diri.
Jadi, jangan heran bila dalam retorika para politisi berteriak nyaring dan sesumbar 'ganyang korupsi', tapi dalam praktik justru mereka paling getol mempraktikkan korupsi. (*)
Daftar Kepala Daerah Cantik Terjerat Korupsi:
1.Siti Masitha Soeparno, Bupati Tegal, Jawa Tengah. KPK menetapkan dia sebagai tersangka korupsi pengelolaan jasa kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kardinah Kota Tegal. Total nilai dugaan suap Rp5,1 miliar.
2.Sri Hartini, Bupati Klaten, Jawa Tengah nonaktif . Dia diringkus dalam OTT KPK pada akhir 2016 di rumah dinasnya. Dia tersandung kasus suap dan gratifikasi. Saat ini Sri Hartini telah dituntut 12 tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang.
3.Rina Iriani Sri Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah. Dia melakukan tindak pidana korupsi proyek perumahan Griya Lawu Asri yang merugikan negara Rp18 miliar. Rina ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2013 lantaran diduga ikut menikmati hasil korupsi hingga Rp11 miliar. Rina menjalani hukuman dari enam tahun penjara menjadi 12 tahun penjara.
4.Endang Setyaningdyah, mantan Bupati Demak, Jawa Tengah. Endang terjerat kasus korupsi dana tak tersangka APBD Demak tahun 2003-2004. Tahun 2003 jumlah dana tak tersangka dianggarkan Rp27 miliar, namun direalisasikan Rp25,5 miliar. Tahun 2004, dana tak tersangka Rp13 miliar, hanya direalisasi Rp10,5 miliar. Tahun 2006 Endang ditetapkan sebagai tersangka. Tahun 2013, Kejari Demak menerima putusan kasasi dari Mahkamah Agung, Hakim Agung menghukum Endang dengan hukuman satu tahun penjara.
5.Siti Nurmarkesi, mantan Bupati Kendal, Jawa Tengah. Siti dijatuhi hukuman tiga tahun penjara (namun tidak dibui) dalam perkara korupsi bantuan sosial Kabupaten Kendal senilai Rp1,3 miliar, pada 2010.
6.Atty Suharti, Wali Kota Cimahi, Jawa Barat. KPK menetapkan Atty bersama suaminya M Itoch Tochija sebagai tersangka. Selain mereka, KPK juga menetapkan dua pengusaha, yakni Triswara Dhanu Brata dan Hendriza Soleh Gunadi, sebagai tersangka pemberi suap. Para penyuap mengakui memberikan suap Rp500 juta kepada Atty dan Itoch terkait proyek pembangunan tahap dua Pasar Atas Baru Cimahi. Penyuap ingin menjadi kontraktor proyek pasar yang nilai totalnya Rp57 miliar.
7.Vonnie A. Panambunan, (mantan) Bupati Minahasa Utara. Ia ditahan berkaitan dengan tindak pidana korupsi penyalahgunaan APBD.
8.Ratu Atut Chosiyah, (mantan) Gubernur Banten. Dia dijerat KPK terkait kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) atas penanganan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, tahun 2013. Politikus Partai Golkar ini kembali dijerat KPK pada 2014 atas pengadaan alat kesehatan di Banten, serta perkara suap dan pemerasan. (*)