Menelisik Spesies Jahat Limbah Kapal, Indonesia - Malaysia - Singapura Lakukan Test Water
Jumat, 07 Desember 2018, 14:38 WIBBisnisnews.id - Indonesia, Malaysia dan Singapura menjadi tiga negara pertama di Asia Tenggara yang akan melakukan uji air laut (test water) untuk melihat adanya pengaruh spesies baru terhadap biota laut yang terkandung dalam air.
Test water ini dilakukan karena kapal-kapal dari tiga negara ini yang rutin melakukan pelayaran. Fokusnya adalah, jangan sampai ada spesies jahat yang terbawa dari satu negara melalui kapal dan dibuang di negara tujuan.
Test water ini diperlukan untuk melihat lebih jauh, apakah ada perbedaan biota laut antara Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara. Karena ini adalah bagian penting yang harus dilakukan sejak dilakukan ratifikasi
Tes Water ini adalah bagian penting terkait rencana penerapan Ballast Water di Indonesia dimana Indonesia telah melakukan ratifikasi
Convention of Ballast Water Management melalui Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2015 tentang Pengesahan The International Convention For The Control And Management Of Ships Ballast Water And Sediments, 2004 (Marpol Annex 4).
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Indoesia National Shipowner's Association (INSA) Budi Halim menegaskan, kewajiban seluruh kapal merah putih untuk menerapkan Ballast Water di setiap kapal.
"Indonesia - Malaysia - Singapura, tiga negara yang akan merealisasikannya dengan melakukan uji perairan laut atau test water," tutur Budi Halim, di tengah-tengah acara Workshop Ballast Water Management yang digelar Ditkapel Kemenhub dan DPP INSA, Jumat (7/12/2018) di Hotel Santika Hayam Wuruk Jakarta Pusat.
Hasil uji air laut itu nantinya akan disampaikan kepada International Maritime Organization (IMO). Harapannya adalah, tidak ada biota atau spesies lain yang membahayakan dari perairan di tiga negara.
"Kita kan mau melihat apakah biota pada perairan di tiga negara ini ada kesamaan atau tidak," tuturnya.
Test water ini, telah dilakukan Singapura dan Malaysia. Indonesia akan mengikutinya dengam biaya yang ditanggung secara bersama-sama dari tiga negara. Kebutuhan biaya test water, ungkap Budi Halim sekitar Rp 4 miliar.
Untuk sementara ini diberlakukan pada tiga negara, selanjutnya akan dimekarkan pada seluruh negara di Asia Tenggara. "Sementara ini hanya tiga negara, karena melihat kapal-kapal kita," tuturnya.
Kendala Biaya
Kendala utama diterapkannya ballast water di Indonesia ialah, faktor biaya. Harga mesin penyaring pada ballast water cukup tinggi. Kalau diterapkan pada seluruh kapal di Indonesia, maka investasinya nyaris sama dengan harga kapalnya, karena kapal di Indonesia rata-rata berusia diatas 15 tahun.
Senior Manager Convention Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Aditya Trisandhya Pramana yang hadir sebagai narasumber dalam Workshop itu mengakui, mahalnya perangkat yang harus disiapkan pemilik kapal.
Namun ada solusi yang dapat dilakukan para pemilik kapal di Indonesia. Air dari kapal di transfer ke kapal yang telah memiliki perangkat ballast water, dan diolah selanjutya dibuang.
"Cara ini, biayanya jauh lebih ringan ketimbang menyediakan sendiri perangkat. Cara lainnya ialah, untuk kapal-kapal domestik yang berlayar pada perairan yang sama, limbahnya air dibuang di laut lepas pada kedalaman, minimal 100 meter.
Negara maju yang sudah menerapkan sistem ini ialah Amerika Serikat (AS). Negara itu mulai memberlakukan peraturan air ballast melalui US Coastguard (USCG) pada Juni 2012.
Konvensi Manajemen Balast Air IMO akan berlaku penuh pada 8 September 2017. Selain itu, beberapa badan nasional lainnya memperkenalkan peraturan khusus sebagai tanggapan untuk masalah unik di lwrairannya masing-masing.
Berdasarkan peraturan IMO, sekitar 60 ribu kapal membutuhkan solusi pengolahan air balas dalam jangka pendek. Sebagian besar dari kapal-kapal ini diharapkan mematuhi dengan memasang sistem perawatan air ballast tetap di kapal.
Ketika Konvensi IMO mulai berlaku pada 8 September 2017, semua kapal yang berdagang di perairan internasional akan diminta mengelola air pemberat di setiap pelayaran dengan menukarkannya sesuai dengan apa yang disebut standar D-1 yang ditetapkan dalam konvensi IMO.
Setelah pembaharuan sertifikat IOPP pertama kapal setelah 8 September 2017, perawatan (bukan pertukaran) adalah wajib. Perawatan ditentukan dalam standar D-2 Konvensi Pengelolaan Balast Air IMO dan harus dilakukan dengan peralatan bersertifikasi. (Syam S)