Menggeser Margin Ke Petani, KPPU Penggal Mata Rantai Mafia Beras
Jumat, 21 Juli 2017, 10:04 WIBBisnisnews.id-Pemain sembako nakal, hati-hati, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turun tangan melakukan pengawasan, berani berbuat curang langsung kena finalti. Salah satu yang sekarang dapat sorotan adalah perdagangan beras, sebab keuntungan besar hanya dikuasai dari kelompok kecil dan bisa jadi merugikan petani.
Upaya yang dilakukan adalah mengurangi margin di rantai pasok. Margin itu akan digesr ke petani sehingga harga pembelian beras petani bisa mencapai sekitar Rp. 7.500-Rp. 8.000,/kg dan KPPU beserta Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan di bawah koordinasi Kapolri mendukung dan mengawal kebijakan Penetapan Harga Tertinggi (HET) beras di tingkat konsumen akhir sebesar Rp. 9.000/kg. Sebagai wujud nyata pengawasan, pada Kamis Dini hari (21/7/2017), mereka telah bergerak ke Karawang Jawa Barat.
Pengaturan HET yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 47/M-DAG/PER/7/2017, menurut Ketua KPPU Syarkawi Rauf, kebijakan itu dapat dijadikan mekanisme kontrol pemerintah untuk mengurangi disparitas harga di sisi petani, pelaku usaha dalam jejaring distribusi beras, hingga ke tigkat konsumen.
"Kebijakan penetapan harga acuan pembelian dan penjualan beras di hulu dan hilir ini dapat dijadikan mekanisne kontrol pemerintah," jelas Syarkawi.
Syarkawi Rauf menjelaskan, sidak ini merupakan bagian dari upaya menghindarkan eksploitasi konsumen oleh kekuatan pasar yang menguasai jejaring distribusi beras di Indonesia.
"KPPU dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang dipimpin Polri berkomitmen penuh mengawal amanah bapak Presiden Joko Widodo untuk menjaga stabilitas harga pangan" ungkap Syarkawi.
Terkait industri beras, KPPU telah melakukan melakukan pemetaan jejaring distribusi, pemetaan titik simpul distribusi di mana terdapat potensi persaingan usaha tidak sehat terjadi serta telah mengidentifikasi pelaku-pelaku usaha yang menjadi penguasanya.
Struktur industri beras cenderung kompetitif di tingkat petani dan pengecer, tetapi cenderung oligopoli di pusat-pusat distribusi (Midlemen). Perlindungan petani telah dilakukan Pemerintah, melalui penetapan harga dasar pembelian gabah dan harga eceran tertinggi beras. Tetapi di hilir diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga penguasa jejaring distribusi leluasa mengeksploitasi konsumen melalui kenaikan harga.
Disparitas harga memberikan gambaran, bahwa harga dasar gabah petani kering panen sekitar Rp. 3.700/kg dan gabah kering giling Rp, 4.600/kg. Sementara Harga pembelian beras petani ditetapkan Rp 7.300/Kg.
Harga pasar riil saat ini berada di kisaran Rp 10.500/Kg. Meskipun ada sejumlah pelaku usaha yang menjual Pada harga lebih tinggi. Biaya produksi petani diperkirakan Rp 3.150/Kg. Dengan perkiraan produksi gabah 79.6 juta ton atau 46.5 juta ton beras, dan dengan mempertimbangkan harga-harga sebelumnya marjin (keuntungan) yang dinikmati petani (56 juta orang) Rp 65.7 Triliun. Sementara marjin keuntungan perantara petani dengan konsumen (middle men) mencapai Rp 186 Trilyun. Keuntungan ini dinikmati oleh jumlah pelaku usaha yang lebih kecil.
"Tinggi nya disparitas harga ini yang menjadi masalah, karena ada pedagang perantara yang mendapat keuntungan lebih besar dan membuat harga beras di tingkat pengecer juga tinggi, sementara itu ironisnya petani justru tidak dapat memperoleh peningkatan kesejahteraan” jelas Syarkawi. (Syam S)