Kinerja Legislasi Jeblok, DPR Terus Berupaya Lumpuhkan KPK
Jumat, 29 September 2017, 18:44 WIBOleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Pejaten Timur Jakarta Selatan.
Bisnisnews.id-Walau tidak didukung seluruh anggota, masa kerja Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperpanjang. Keputusan diambil dalam Rapat Paripurna, Selasa (26/09/17). Satu lagi sinyal, DPR terus mengejar KPK. Para legislator belum puas jika belum melihat KPK lumpuh layuh.
Alasan utama perpanjangan masa kerja antara lain karena Pansus belum dapat mengambil kesimpulan dan rekomendasi. Sebab, KPK sebagai subyek yang sekaligus obyek Pansus belum memberikan klarifikasi resmi atas semua temuan Pansus.
KPK memang tetap menolak memenuhi panggilan Pansus. Alasannya, sedang dilakukan uji materi terhadap undang-undang (UU) MD3 (UU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD) di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sah tidaknya KPK dijadikan obyek Hak Angket DPR.
Perilaku para legislator ini mengundang pertanyaan sendiri. Sebab, ada kesan, mereka memprioritaskan Pansus. Mereka mengabaikan fungsi yang lain seperti urusan legislasi. Dalam urusan legislasi, kinerja DPR super buruk.
Tahun 2017 ini, dari target 49 Rancangan Undang-undang (RUU), belum ada satu pun yang disahkan menjadi UU. Artinya kinerja sektor legislasi nol besar. Ini data sampai bulan Agustus lalu.
Mundur ke tahun 2016, dari target bahasan 50 RUU, yang dapat disahkan hanya 9 UU atau tidak sampai 20%. Tahun sebelumnya, 2015, kinerja lebih jeblok. Dari target bahasan 39 RUU, yang dapat direalisasi hanya 3 UU atau di bawah 10%. Sementara pada tahun 2014 hanya dapat diproduksi 17 UU, padahal target bahasannya 69 RUU.
Jadi, DPR priode 2014-2019 yang sekarang sedang melaksanakan tugas, baru dapat memproduksi 29 UU. Padahal, target RUU yang tercantum dalam program legislasi nasional (Prolegnas) mencapai 207 RUU. Dengan kata lain, selama tiga tahun terakhir prestasi para anggota DPR dalam hal legislasi tidak sampai 15%. Satu kinerja yang luar biasa buruknya.
Biasanya, para legislator berdalih, pembuatan UU bukan tugas DPR sendiri, melainkan bersama-sama dengan pemerintah. Biasanya pula, mereka melempar kesalahan kepada pemerintah . Kata mereka, pemerintah sering mengulur-ulur waktu dalam pembahasan RUU.
Namun, rakyat tentu dapat melihat, justru DPR yang menjadi sumber kemacetan pembahasan RUU. Soalnya, DPR lebih memprioritaskan energi pada urusan lain, seperti sekarang ini, mereka bertarung sangat agresif untuk melemahkan KPK.
Kinerja di sektor legislasi ini menunjukkan buruk rupa DPR. Guna menutup buruk rupa dengan rapat, tampaknya DPR berusaha mencari “kambing hitam”. Sebagai jalan pintas, KPK dijadikan sasaran empuknya.
Rakyat menyaksikan pertunjukan yang sedang dipentaskan di panggung Pansus. Para anggota Pansus terus membangun opini bahwa KPK adalah lembaga “penuh dosa”. Makin banyak dosa dipentaskan, Pansus merasa makin sukses.
Tulisan ini hanya mencuplik sebagiannya, misalnya yang diucapkan Arteria Dahlan. Melalui Arteria, Pansus mengklaim telah menemukan banyak sekali pelanggaran dilakukan KPK dalam melaksanakan penegakan hukum pemberantasan korupsi. Temuan tersebut ada yang menyangkut eksternal dan internal.
Dalam hal operasi tangkap tangan (OTT), Arteria menuding KPK sama seperti oknum polisi lalu-lintas yang bersembunyi di perempatan jalan. Bila ada pengendara melanggar lampu pengatur lalu-lintas, si oknum segera keluar persembunyian untuk menangkapnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini pun berpendapat, dalam hal suap pejabat, KPK melakukan jebakan terhadap korbannya. Para penyuap telah lebih dulu memberitahu KPK kapan mereka akan memberikan suap kepada si pejabat.
Jadi, KPK sudah “bersekongkol” dengan pemberi suap. Pada hari-H, ketika penyuap membawa uang suap dan sudah berada di tempat pejabat, saat bersamaan tim KPK datang menangkap. "Penjebakan inilah yang selama ini dikatakan OTT oleh KPK," demikian pendapat Arteria.
Indah sekali kemasan opini Arteria ini. Padahal, rakyat tidak bodoh-bodoh amat. Dalam logika rakyat yang sangat sederhana, tidak mungkin seseorang memberikan suap kepada pejabat secara ujug-ujug atau sekonyong-konyong. Tidak mungkin si pejabat mau menerima kedatangan si penyuap kalau dia tidak mengenalnya dengan akrab.
Walau sudah kenal, seseorang tidak mungkin diterima pejabat, kalau itu merupakan kedatangan biasa. Banyak sekali anggota masyarakat yang, meskipun sudah dikenal baik oleh si pejabat, ditolak bertemu. Sebab, orang yang diterima bertemu adalah hanya mereka yang menguntungkan bagi si pejabat.
Pemberian suap pun umumnya sudah dikondisikan sedemikian rupa selama beberapa minggu atau beberapa bulan sebelumnya. Suap itu pun mengandung syarat dan ketentuan tersendiri.
Karena itu, hampir tidak mungkin sebuah transaksi suap akan terjadi manakala tidak ada pengondisian sebelumnya. Jadi, tuduhan Arteria bahwa pemberi suap sudah bersekongkol dengan KPK, sulit diterima akal sehat rakyat.
Selain itu, si penyuap pun tahu ada risiko besar baginya bila tertangkap. Kalau dia tertangkap memberikan suap, dia pun akan diproses hukum. Dia harus siap menghuni penjara selama sekian tahun. Dari sisi ini, apa yang diungkap Arteria rasanya sulit diterima.
Menurut Arteria, cara-cara OTT menyalahi aturan dan melanggar hukum, terutama hukum pidana. Dia pun menegaskan, istilah OTT tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Yang ada adalah tertangkap tangan.
Istilah "tertangkap tangan" sangat berbeda dengan OTT. Dalam hal "tertangkap tangan", pelaku tertangkap ketika sedang menerima suap atau sedang "bertransaksi". Sebaliknya, kalau OTT maka kata “operasi” mengandung makna adanya persiapan, proses, dan target.
Dalam hal penyadapan, Arteria berpendapat, KPK telah melanggar hukum. Sebab, KPK sudah menentukan target orang yang akan disadap. Padahal, orang itu belum melakukan tindak pidana. Seharusnya penyadapan dilakukan hanya kepada orang yang sudah melakukan tindak pidana. Penyadapan bertujuan sebagai tahap penyelidikan dan penyidikan.
Arteria menepis anggapan bahwa dia bertujuan menghilangkan hak penyadapan KPK. "Kita tetap mendukung hak penyadapan," katanya. Namun, harus sesuai aturan, yaitu dilaporkan lebih dulu kepada hakim.
Suara lantang Arteria ini dapat ditebak mewakili keseluruhan suara Pansus atau mayoritasnya. Bukankah semua ini untuk menggiring opini di masyarakat bahwa KPK telah melakukan banyak pelanggaran?
Kondisi seperti ini akan terus diciptakan. Persepsi atas kesalahan KPK terus digaungkan. Pada gilirannya nanti, Pansus leluasa mengambil kesimpulan bahwa "sudah cukup banyak bukti yang menunjukkan KPK melakukan kesalahan".
Dengan begitu, KPK akan "terpenjara" oleh kesalahan tersebut sehingga “takut” untuk menyelidik dan menyidik lebih lanjut para anggota DPR yang sudah terindikasi terlibat korupsi. Jadi, para politisi itu dapat bebas dan berpeluang kembali untuk menangguk korupsi selanjutnya.
Karena rakyat tahu, para politisi DPR menghalalkan segala cara untuk tujuan melumpuhan KPK, dapat ditebak, pada pemilihan anggota legislatif (Pileg) dua tahun mendatang, mereka akan menetapkan pilihan ke lain hati. (*)