Negara Agraris, di Republik Singkong ....
Senin, 16 Oktober 2017, 22:26 WIB
Oleh Uus Sumirat
Penulis adalah penggiat masalah-masalah sosial, aktivis dan pengurus Aksi Bela Negara Republik Indonesia
Bisnisnews.id-Setelah beras, cabai, wortel dan beragam jenis sembako yang dibuka kran impornya oleh pemerintah, kini malah singkong ikut diimpor. Ini sangat miris. Sebagai negara agraris, dimana "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" seperti diungkapkan dalam syair lagu group Koes plus, kini tidak berlaku lagi dengan satu kata "IMPOR SINGKONG".
Sebagai negara agraris, seharusnya pertanian di Indonesia bukan sekadar memenuhi kebutuhan para petani, tapi idealnya jadi industri, yang mampu menopang perekonomian nasional. Kenyataan tidak demikian. Impor bahan pangan terus meningkat, bahkan nampak jelas ketergantungan negara kita yang semakin besar terhadap impor bahan pangan tersebut.
Menyedihkan, padahal dibanyak desa, umbian sejenis sinkong sampai tidak bisa dijual saking murahnya. "Lalu kenapa sekarang malah diimpor ? Apa yang terjadi di negeri ini, dan untuk kepentingan siapa, kegiatan impor itu ?"
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Semester I/2017, impor singkong ini sudah mencapai 3,2 ribu ton atau senilai 613,2 ribu dolar AS. Import singkong tersebut seluruhnya berasal dari Vietnam. Negara tetangga, yang baru mengecap kemerdekaan tahun 1974.
Koq bisa ya ? Konon harga singkong impor lebih murah sehingga singkong lokal harus takluk. Penyebabnya, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP), Agung Hendriadi, adalah tingkat produksi per hektar di Indonesia masih rendah, hanya 25 ton. Sementara tingkat produktivitas negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina sangat tinggi, sekitar 40-50 ton per hektar.
Sangat memprihatinkan. Dimana negeri yang subur ini sampai harus mengimpor singkong. Pertanyaannya, kalau memang tingkat produksi singkong per hektar ternyata rendah, mengapa Kementerian Pertanian atau lembaga terkait tidak mengajarkan para petani agar produksi tanaman singkongnya menamai negara-negara tetangga.
Singkong saja diimpor, alasannya tidak masuk akal "karena harga yang lebih rendah". Sederhana sekali. Kalau impor senjata nuklir, kapal ruang angkasa, pesawat, kendaraan bermotor, atau apapun yang tidak tersedia atau tidak diproduksi di Indonesi bolehlah. Tapi SINGKONG bisa ditanam di setiap jengkal tanah di Indonesia, kenapa harus Impor ?
Bahwa produksi per hektar masih kecil, tinggal bagaimana kita melakukan penerapan teknoolgi saja yang tepat guna. Rasanya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah melakukan penelitian yang paripurna untuk teknologi penanaman singkong yang baik dan maksimal. Tinggal keinginan politisnya saja.
Tidak adakah alasan politis ekonomis negara kita supaya lebih menggalakan produksi singkong lokal dari dalam negeri sendiri ? Bukan sibuk mendatangkannya dari negara luar.
Kalau singkong saja diimpor, tidak heran bila produksi bahan pangan lainnya pun di negeri kita semakin menurun. Akibatnya tingkat ketergantungan Indoesia terhadap negara luar semakin tinggi.
Petani Anak Tiri
Lebih mengerikan lagi, kondisi Pertanian Indonesia kini menghadapi tantangan berat, mengingat rendahnya perhatian pemerintah terhadap para petani. Pemerintah seakan melihat petani seperti anak tiri yang tidak perlu diperhatikan. Bahkan cenderung melakukan pembiaran, terciptanya sebuah kemiskinan di kalangan petani. "Lebih pas disebut Buruh Tani".
Bagaimana tidak, sekarang ini lahan pertanian semakin sempit karena sudah beralihfungsi menjadi pabrik dan hunian. Kesuburan tanah semakin menurun sebagai akibat penggunaan pupuk kimia yang tiak lagi proporsional.
Harga pupuk semakin mahal, karena adanya pencabutan subsidi dan permainan kartel. Diperparah dengan semakin tidak menariknya lapangan kerja di bidang pertanian karena tingkat pendapatan petani yang sangat rendah dan tidak ada perlindungan dari pemerintah.
Perlahan namun pasti, dunia pertanian kita akan semakin tertinggal dan ditinggalkan. Pada hal tingkat kebutuhan negara kita terhadap kpmoditas pertanian semakin besar, seiring pertambahan penduduk Indonesia.
Sekedar gambaran, saat ini sektor pertanian masih menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Hal ini terlihat dengan data yang pernah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2016 yang menunjukkan kalau sekitar 34% tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor ini. Bandingkan dengan sektor perdagangan dan jasa yang hanya sebanyak 22%, usaha sosial 16% dan sektor industri sebanyak 13%.
Nyatanya persentase jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun (data BPS 2015) dimana sektor pertanian mampu menyerap 40% tenaga kerja.
Penyebab utama merosotnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian adalah terlalu kecilnya pendapatan dari pekerjaan sebagai petani. Berdasarkan indeks pertanian, rata-rata penghasilan per bulan petani di Indonesia hanya Rp 1 juta per. Jauh di bawah rata-rata buruh industri yang gajinya dipatok batas minimum untuk setiap region atau daerah yang dikenal dengan Upah Minimum Regional (UMR) mencapai sekitar Rp 3 juta per bulan.
Rendahnya pendapatan petani di Indonesia ini juga terkait erat dengan kepemilikan lahan petani. Rata-rata petani di Indonesia hanya memiliki lahan seluas 0,3 hektar (ha). Lahan yang kecil itu pun dikerjakan oleh lebih dari 1 orang.
Bila ironi ini terus terjadi, yakinlah, kondisi politik dan ekonomi negara akan timpang. Petani akan kehilangan arah di bumi agraris, bahkan sangat mungkin mereka frustasi. Konflik sosial pun akan muncul dan tidak mustahil semakin lama akan semakin membesar.
Dimanakah sikap Bela Negara kita di bidang pertanian ? Akankah ini hanya slogan ? Kapankah para petani kita menjadi tuan di negeri mereka sendiri ? Haruskah dunia pertanian digantikan tenaga asing ? (**)