NIlai Ekonomi Pemanduan Kapal di Selat Malaka Capai Rp360 Triliun
Rabu, 19 Februari 2020, 17:34 WIBBisnisNews.id -- Pengajar maritim ITS Surabaya, Saut Gurning, yang turut hadir pada kesempatan penunjukan PT Pelindo III sebagai operator pandu di Selat Malaka mengatakan, sesuai data Straitrep (2019) bahwa pada kurun waktu 2009-2019 arus kapal yang melalui Selat Malaka sekitar 60.000-85.000 unit per tahun.
“Dari jumlah tersebut baru sekitar 300 kapal saja yang dilayani oleh Indonesia. Seharusnya ke depan bisa mencapai 2.000-3.000an unit. Lebih strategis bagi Indonesia untuk melayani kapal-kapal besar, misalnya VLCC (very large crude carrier/tanker),” kata Saut Gurning di Jakarta.
Saut Gurning menambahkan, dari jumlah 60.000-85.000 unit kapal per tahun di Selat Malaka itu, nilai ekonominya mencapai Rp45 triliun untuk layanan pandu. Bila ditotal dengan derivasinya bisa mencapai Rp360 triliun. “Kenyataan tersebut seperti tidak terlihat oleh Indonesia, padahal sebenarnya sebagian besar melayari jalur di sisi eastbound (wilayah Indonesia) seperti dari Sumatra hingga Natuna,” kata Saut lagi.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan menunjuk BUMN Pelindo III untuk memberikan pelayanan jasa pemanduan dan penundaan kapal di Selat Malaka, Selat Phillip, dan Selat Singapura. Kawasan perairan tersebut dinyatakan sebagai wilayah perairan pandu luar biasa alur pelayaran Traffic Separation Scheme (TSS) yang berbatasan dengan batas negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura.
Selanjutnya, anak usaha Pelindo III, Pelindo Marine Service akan menjadi ujung tombak pelayanan, sekaligus membawa BUMN yang berkantor pusat di Surabaya tersebut untuk semakin mapan menggarap pasar internasional.
Penunjukkan tersebut berdasarkan SK Direktur Jenderal Perhubungan Laut yang diserahkan oleh Kasubdit Pemanduan dan Penundaan Kapal Direktorat Kepelabuhanan, Kementerian Perhubungan, Agus Arifianto kepada Direktur Teknik Pelindo III Joko Noerhudha, yang didampingi oleh Direktur Utama Pelindo Marine Service Eko Hariyadi Budiyanto.
70% Dilayani Singapura
Saat ini, menurut Saut, realisasinya dari sekitar 80 ribu kapal, diperkirakan sekitar 70 persennya dilayani oleh Singapura, karena mereka ada pelabuhan. “Maka pelabuhan interport di Indonesia harus terus dikembangkan, misalnya Kuala Tanjung,” jelas Saut lagi.
“Bila hanya bermain di segmen hinterland (wilayah pendukung pelabuhan), porsi keuntungannya jauh. Seluruh stakeholder, baik pemerintah, BUMN, swasta harus bekerja sama untuk mengelola potensi Selat Malaka,” tandas Saut.(nda/helmi)