Perang Dagang AS - Cina Bisa Jadi Opportunity Bagi Indonesia
Rabu, 04 April 2018, 12:34 WIBBisnisnews.id - Perang dagang yang dilakukan Ameika serikat dengan Tiongkok, bukan saja membuat banyak negara, termasuk Indonesia terkena imbas. Bukan saja penyusutan tapi juga kesempatan (opportunity).
Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri, dengan adanya perang dagang Amerika China, Indonesia punya kesempatan lain untuk meningkatkan ekspor. Terutama komoditi yang dibutuhkan.
Misalnya, Amerika ekspor kedelai ke Cina tapi karena ada perang dagang, Cina memberikan bea masuk tinggi. Sementara Indonesia yang mempunyai kedelai bagus, bisa mengamil kesempatan ekspor ke Cina dengan harga lebih murah.
Kendati demikian, bukan berarti neraca perdagangan Indonesia ke Cina menjadi surplus begitu saja.
"Yang saya katakan itu adalah contoh. Dimana apapun bisa terjadi. Kalau defisit dengan Cina, iya defisit karena kita bodoh. Satu-satunya negara di ASEAN yang defisit sama Cina kan cuma Indonesia. Memang tidak masuk akal, masa cabai impor dari Cina. Mereka itu empat musim loh, kalau winter tidak bisa metik cabai, kalau kita bisa metik kapan aja," tutur Faisal.
Pada sisi lain Faisal Basri mengataka, meskipun ada kesempatan di tengahtengah terjadinya perang dagang Amerika dan Cina, dampak pertumbuhan ekonomi ke Indonesia tidak akan besar. Apalagi Indonesia juga belum mampu mempercepat perkembangan perekonomiannya.
"Makanya saya bilang bisa ada plus minus nya. Bales balesan seperti perang dagang kan diplomatik gitu. Kalau saya aja, ga ada perang dagang, pertumbuhan ekonomi cuma bisa 5,1 prsen karena semua melemah," jelasnya.
Terkait perang dagang Amerika - Tiongkok, beberapa waktu lalu Amerika telah menerbitkan daftar impor Cina senilai 50 miliar dolar AS yang ditargetkan bakal dikenakan kenaikan tarif.
Langkah itu dilakukan Amerika sehari setelah Beijing memberlakukan bea cukai sekitar 3 miliar dolar terhadap ekspor AS. Seperti daging babi, anggur dan buah, yang merupakan tindakan balasan terhadap tarif logam AS.
Daftar AS itu meliputi elektronik, suku cadang pesawat, satelit, obat-obatan, mesin dan barang-barang lain yang akan difinalisasi sebagai tanggapan terhadap dugaan pencurian kekayaan dan teknologi intelektual perusahaan-perusahaan Amerika.
"Daftar produk yang diusulkan didasarkan pada analisis ekonomi lintas sektoral dan akan menargetkan produk yang menguntungkan dari rencana industri China sambil meminimalkan dampak pada ekonomi AS," kantor Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer mengatakan dalam sebuah pernyataan seperti dilansir AFP.
Daftar yang diusulkan mengidentifikasi sekitar 1.300 barang dengan kenaikan tarif 25 persen tetapi peninjauan akan berlangsung setidaknya hingga bulan Mei sebelum dapat diberlakukan.
China mengecam langkah itu sebagai unilateralistik dan proteksionis. "Tindakan itu dinilainya sudah sagat serius melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental WTO.
Sementara Douglas Peterson dari perusahaan jasa keuangan S & P Global mengatakan, dua negara ( AS dan Cina) perlu pembicaraan yang kongkrit, dialog multilateral bukan tarif.
'Blunt force instruments' atau instrumen gaya tumpul, seperti tarif tidak akan pergi jauh selama pembicaraan hanya dengan China, karena AS bergerak maju dengan pungutan impor China.
"Jelas ada aspek akses ke pasar Cina yang membuat orang frustrasi," kata Peterson dalam wawancara dengan CNBC, Minggu. (Syam S)