Rakyat Turki, Ya Atau Tidak Untuk Kekuasaan Absolut Erdogan
Minggu, 16 April 2017, 14:42 WIBBisnisnews.id - Masa depan demokrasi Turki ditentukan Minggu (16/4/2017) ini. Rakyat Turki akan menentukan apakah setuju atau tidak memperluas kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Pilihan itu ditentukan dalam referendum yang dihelat pagi ini untuk mengubah sistem pemerintahan yang berlaku di negara tersebut, apakah tetap pada sistem presidensial parlementer atau berganti menjadi presidensial absolut.
Referendum bersejarah ini akan menentukan apakah Presiden Recep Tayyip Erdogan mampu menggantikan sistem parlementer dengan sistem presidensial eksekutif dalam pemerintahan Turki.
Pendukung referendum mengatakan, perubahan konstitusi akan merampingkan dan memodernisasi negara. Akan tetapi, penentang referendum mengaku khawatir jika perubahan konstitusi bisa menyebabkan otoritarianisme yang lebih besar
Suara "ya" dalam referendum bisa membuat Erdogan tetap berkuasa di Turki hingga 2029. Erdogan juga akan mendapatkan kekuatan lebih besar untuk menunjuk menteri kabinet, memilih hakim senior, dan membubarkan parlemen. Sebanyak 55 juta orang berhak memilih di 167 ribu TPS yang tersebar di seluruh wilayah. Hasil referendum diharapkan dapat diumumkan Minggu malam.
Erdogan mengatakan, perubahan konstitusi diperlukan untuk mengatasi tantangan keamanan yang dihadapi oleh Turki. Perubahan juga perlu untuk menghapuskan pengaruh koalisi pemerintahan yang rapuh di masa lalu.
Dalam kampanye terakhirnya di distrik Tuzla, ibu kota Istanbul, Erdogan mengatakan kepada pendukungnya bahwa konstitusi baru akan memberikan stabilitas yang diperlukan negara untuk tumbuh dan berkembang. "Turki bisa melompat ke masa depan," kata Erdogan, dikutip BBC.
Erdogan terpilih menjadi Presiden Turki pada 2014, setelah lebih dari satu dekade menjabat sebagai perdana menteri. Referendum kali ini akan menghapuskan jabatan perdana menteri, yang memungkinkan presiden untuk mengatur semua birokrasi negara di bawah kekuasaannya.
Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi utama Partai Rakyat Republik (CHP), mengatakan suara "ya" dalam referendum akan membahayakan negara. "Kami seperti sedang menempatkan 80 juta orang ke dalam bus tanpa rem. Kami tidak tahu kemana bus akan menuju," kata dia.
Rancangan konsitusi baru menyatakan bahwa pemilihan presiden dan parlemen akan diselenggarakan pada 3 November 2019. Presiden dapat menjabat selama lima tahun, untuk maksimal dua periode. (Gungde Ariwangsa)