Toleransi Dan Masyarakat Majemuk Dibahas Dalam Pertemuan Para Ulama di Abu Dhabi
Rabu, 11 Desember 2019, 05:51 WIBBisnisNews.id -- Prof.Din Syamsuddin menyambut baik percakapan tentang toleransi ini dan menganggapnya sebagai pilar kehidupan dunia yang majemuk. Masyakat majemuk seperti di Indonesia tumbuh bahkan menjadi akar budaya Indonesia sejak puluhan tahun silam.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah sejak 9 Desember 2019 berada di Abu Dhabi untuk hadiri Konperensi tentang Toleransi, Dari Kemungkinan kepada Keniscayaan (_At-Tasamuh Minal Imkan ilal Ilzam_ /_Tolerance From Possibility to Necessity_).
Konperensi merupakan konperensi keenam yang diselenggarakan oleh Forum Promosi Perdamaian dalam Masyarakat Islam (_Muntadat Ta’zis Silmi fil Mujtama’at al-Islamiyah_/_Forum for Promoting Peace in Muslim Societies_), yang dipimpin oleh Syaikh Abdullah Bin Bayyah, seorang ulama terkemuka di dunia dewasa ini.
Menurut Din Syamsuddin, pengembangan kemajemukan menuntut beberapa prasyarat, antara lain (a), pengakuan akan kemajemukan, (b) kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai, (c) toleransi, dan (d) kerja sama.
Toleransi, lanjut Din, adalah sikap dan pandangan mengakui bahwa di antara anasir masyarakat majemuk ada persamaan dan ada perbedaan. "Toleransi adalah menghargai perbedaan disertai tenggang rasa terhadap perbedaan itu," kata Din Syamsudin meyakinkan.
Indonesia Miliki Kemajemukan
Konperensi tentang toleransi di Abu Dhabi, menurut Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini membawa pesan kuat dan relevan dengan bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan. "Untuk menjaga keutuhan, kerukunan, dan persatuan maka toleransi merupakan prasyarat mutlak," kilah Din Syamsudin.
Dengan demikian, toleransi bukan sekedar kemungkinan tapi adalah keniscayaan. Namun, Din Syamsuddin mengingatkan agar tidak ada satu kelompok yg mudah mengklaim paling toleran dan kelompok lain intoleran.
Klaim sepihak yang bersifat subyektif seperti itu justeru akan merusak iklim toleransi yang ada. Tuduhan sepihak seperti itu sering muncul sebagai bermotif politik, dan dengan demikian sikap itu sejatinya merupakan bentuk intoleransi.
"Dari pada mengembangkan pendekatan bernada fobia demikian, sebaiknya bangsa mengembangkan budaya toleransi sejati. Jika ada masalah di antara kelompok-kelompok, sebaiknya dikembangkan budaya dialog. Dialog adalah satu cara bermartabat untuk mengatasi yang ada," papar Din Syamsudin.
Seperti diketahui, Konperensi dihadiri oleh sekitar 300 tokoh berbagai agama dari berbagai negara. Dari Indonesia, selain Din Syamsuddin, hadiri Prof. Amany Lubis/Rektor UIN Jakarta, Prof. Amal Fathullah Zarkasyi/ Rektor Unida Gontor, Prof. Khuzaimah Y Tanggo/Rektor IIQ, serta juga KH. Abdullah Jaidi/ Ketua MUI, KH. Muchyidin Junaidi/Ketua MUI, dan Dr. Zaitunah/Dosen UIN.
Dalam konperensi ini dibahas beberapa aspek dari pengembangan budaya toleransi dalam kehidupan masyarakat majemuk, seperti formulasi baru toleransi, etika toleransi, peluang bagi perdamaian, dan Aliansi Keutamaan (_Alliance of Virtous_).
Yang terakhir merupakan tajuk dari Deklarasi Washington yg disepakati pada konperensi 2018. Aliansi Keutamaan merupakan upaya mengangkat nilai-nilai keutamaan dari berbagai agama untuk ditampilkan sebagai lingkaran kebenaran. 'Lingkaran Keutamaan (_Virtous Circle_) diharapkan dapat menghantikan Lingkaran Setan (Vicious Circle) yang melilit peradaban dunia dewasa ini," urai Din Syamsudin.
Selanjutnya, dari Abu Dhabi, Din Syamsuddin sebagai Presiden _Asian Conference on Religions for Peace_ (ACRP) melanjutkan perjalanan ke New York utk hadiri Pertemuan Para Tokoh Agama-Agama Dunia _Multi Religious Partnership for Peace and Development_).
Acara tersebut akan diselenggarakan oleh Religions for Peace. Pada pertemuan itu Din Syamsuddin menjadi moderator pada sesi tentang peran agama dalam menanggulangi krisis lingkungan hidup.(nda/helmi)