Hukum Sujud Simpuh di Kaki Politik ...?
Senin, 02 Oktober 2017, 17:41 WIB
Oleh: Baba Makmun
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di kawasan Pejaten Timur Jaksel
Baca Juga
Bisninews.id-Pentas praperadilan sudah tutup layar pada 29 September lalu. Setya Novanto alias Setnov menang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tumbang. Para legislator penghuni “rumah” Senayan bersorak riang. Rakyat hanya bisa terperangah dan tercengang, mungkin juga ada yang meriang. Apakah ini sinyal bahwa hukum akan sujud di kaki politik?
Kemenangan Setnov yang adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menjadi amunisi baru bagi Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR tentang KPK. Pansus akan makin gencar menyerang dan memojokkan KPK.Pansus yang selama ini sudah agresif mencari-cari kesalahan KPK, sekarang dapat makin leluasa “menelanjangi” lembaga antirasuah ini.
Kekalahan KPK dapat dianggap bahwa lembaga ini tidak profesional dan gegabah dalam menetapkan tersangka. Mungkin juga KPK dituduh telah sewenang-wenang. Bahkan, dapat pula KPK dituding telah bertindak di luar batas kewenangan.
Yah, karena Pansus merupakan instrumen politik dan anggotanya adalah politisi, mereka bebas memberikan persepsi. Tentu dengan kemasan cantik yang barlabel hukum dan kebenaran faktual. Kontras dengan KPK, yang tidak mungkin beraksi di luar kanal yudisial. Karena itu, naga-naganya, hasil praperadilan ini merupakan titik awal bagi KPK untuk dijadikan “bulan-bulanan”.
Sejak zaman Reformasi bergulir, kasus Setnov merupakan perseteruan hukum melawan Ketua DPR yang kedua kalinya. Kedua-duanya dimenangi Ketua DPR. Kasus pertama terjadi tahun 2002. Saat itu Ketua DPR dijabat Akbar Tandjung, yang sekaligus juga Ketua Umum Partai Golkar.
Akbar keserimpet kasus penyalahgunaan dana nonbujeter (non-budgetary) di Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp40 miliar. Tapi, tatkala kasus ini meletus, Akbar masih menjabat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg). Dalam proses peradilan di pengadilan tingkat pertama sampai tingkat banding, hakim memutus Akbar bersalah dan memvonis dengan hukuman tiga tahun penjara.
Akbar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam pengadilan tingkat kasasi ini Akbar divonis bebas. Putusan bebas ini terjadi tahun 2004 atau selang dua tahun sejak awal kasus bergulir pada 2002.
Majelis kasasi berpendapat, Akbar selaku Mensesneg saat itu hanya melaksanakan perintah jabatan dari Presiden Bacharuddin Jusuf (B.J.) Habibie untuk menyalurkan sembilan bahan pokok (sembako) menggunakan dana nonbujeter Bulog.
Menurut majelis, Akbar tidak dapat dipidana karena perbuatannya masuk kategori melaksanakan perintah jabatan, yaitu perintah Presiden B.J. Habibie. Oleh karena itu, masalah penggunaan dana itu menjadi tanggung jawab jabatan Habibie selaku pemberi perintah.
Setnov 'Lebih Sakti'
Perbedaan antara kasus Akbar dan Setnov adalah saat kasus Akbar terjadi, KPK belum lahir. Beda berikutnya, Akbar dibebaskan oleh hakim kasasi di MA, sedangkan Setnov oleh hakim praperadilan Jakarta Selatan. Persamaannya, saat kasus terjadi, Setnov dan Akbar sama-sama Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.
Setnov menjadi tersangka dalam kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Mantan Bendaha Umum Partai Demokrat M. Nazarudin bersaksi di persidangan bahwa Setnov dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali utama proyek pengadaan e-KTP.
Saat itu Setnov disebut meminta uang jasa sebesar 10 persen kepada Paulus Tannos, pemilik PT Sandipala Arthaputra, pemenang tender proyek e-KTP yang bernilai total Rp5,9 triliun. Menurut Nazaruddin, uang tersebut dibagi-bagikan kepada anggota DPR untuk memuluskan proyek e-KTP.
Kemenangan Setnov di ajang praperadilan seolah menunjukkan betapa politikus ini “lebih sakti” daripada hukum. Kesaktian juga dia tunjukkan ketika berhadapan dengan sejumlah kasus kakap lainnya. Sebab, sebelum e-KTP menjeratnya, nama dia telah lebih dulu disebut-sebut dalam banyak kasus hukum. Minimal nama Setnov dikaitkan dalam enam kasus besar (daftar kasus lihat di bawah tulisan ini).
Merunut ke belakang, pada era sebelum Reformasi, hukum memang selalu takluk ketika berhadapan dengan politik dan kekuasaan. Zaman itu nyaris tidak ada pejabat atau politisi level atas yang diproses hukum. Ruang pengadilan hanya gegap gempita oleh kasus-kasus strata rendah, kasus recehan. Tersangka dan terdakwa umumnya orang-orang yang tidak memiliki pengaruh politik atau kekuasaan.
Menteri dan kepala daerah menjadi simbol kekuasaan yang memiliki “kasta” di atas hukum. Setali tiga uang dengan aparat pertahanan dan keamanan. Nyaris tak pernah ada menteri, kepala daerah, dan jenderal yang diseret ke meja hijau.
Bukan itu saja. Proses penyelidikan dan penyidikan kasus yang sedang berlangsung dapat sekonyong-konyong tutup buku manakala kekuasaan dan atau politisi turun tangan. Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) sering dikeluarkan oleh kejaksaan.
Skor Berbalik
Begitu masuk era Reformasi dan KPK lahir, keadaan berubah. Banyak sekali pemegang kekuasaan ditenteng ke pengadilan. Tidak sedikit politisi menjadi pesakitan. Bejibun pula kepala daerah maringkuk di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Rakyat mulai melihat seberkas cahaya keadilan. Hukum mulai merata dari bawah sampai ke atas. Selain kepala daerah, ada pula menteri aktif dan jenderal aktif yang diantarkan ke penjara. Pisau hukum mulai tajam.
Polisi, jaksa, pengacara, hakim, dan panitera diciduk KPK lalu dikerangkeng dan dipasung ke dalam penjara. Mereka ini nota bene adalah aparat penegak hukum. Jadi, pisau hukum di tangan KPK membedah siapa saja yang terbukti bersalah.
Masyarakat makin bergairah memantau keadaan sekitar, sekaligus peduli terhadap perilaku penguasa. Mereka segera melayangkan laporan ke KPK tatkala menemukan gejala kejanggalan atau dugaan awal terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Sayangnya, semenjak hukum menjerat politisi papan atas “keluarga” Senayan, sejak itulah meletus kegaduhan. Mereka merapatkan barisan melakukan perlawanan. Jagat politik tidak pernah bisa tenteram ketika ada satu-dua legislator Senayan dipagut hukum.
Tampaknya para penghuni Senayan terperanjat. Selama ini tidak ada satu pun aparat berani mengusik mereka. Kejaksaan dan Kepolisian minder. Kemungkinan besar, kedua institusi hukum ini mengambil sikap mengamankan diri. Mereka menghindari terlibat seteru langsung dengan politisi “gajah, harimau, dan singa”.
Sangat berbeda dengan KPK. Lembaga ini beraksi cepat ketika ada bukti awal yang cukup. Lantas, satu per satu anggota keluarga Senayan diciduk. Kontan saja KPK mendapat perlawanan sangat keras.
Puncaknya, ketika Setvov ditetapkan sebagai tersangka. Senayan langsung melahirkan Pansus Hak Angket. Tujuannya untuk melumpuhkan KPK. Tapi, dalam pernyataan resmi, mereka senantiasa bilang Pansus bertujuan memperkuat KPK.
Sekarang, dengan kemenangan dipetik Setvov, skor berbalik. Keunggulan ada di kubu Senayan. KPK memang sukses membekuk politisi bawahan. Namun, ketika legislator level puncak terkena, mereka langsung mengeluarkan jurus maut untuk menumbangkan KPK.
Banyak pihak khawatir, dua kali kekalahan hukum ketika berhadapan dengan Ketua DPR akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Apalagi, Pansus sebentar lagi akan mengeluarkan rekomendasi yang, tidak bisa tidak, pasti bakal memarjinalkan KPK.
Hari-hari selanjutnya, dikhawatirkan, KPK tidak lagi berani “menyemprit” grup elit di Senayan. Apabila ini benar-benar terjadi, apa boleh buat, rakyat akan kembali masuk ke era kelabu seperti dulu. Politik dan kekuasaan menjadi perkasa.
Berikutnya, kinerja penegakan hukum akan merosot, sebaliknya kekuasaan dan politik makin berotot. (**)
Enam Kasus Besar :
1. Kasus Pengalihan Hak Piutang Bank Bali Tahun 1999.
Nama Setya Novanto pertama kali melejit dalam kasus pengalihan hak piutang (cessie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara Rp900 miliar. Saat itu Bank Bali melakukan pengalihan dana lebih dari Rp500 miliar kepada PT Era Giat Prima yang dimiliki Novanto, Djoko S. Tjandra, dan Cahyadi Kumala.
Kejaksaan akhirnya mengadili Djoko Tjandra sebagai tersangka utama. Sementara Setnov lolos berkat Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan. Jaksa Agung saat itu dijabat M.A. Rachman.
2. Penyeludupan Beras Impor asal Vietnam tahun 2003.
Bersama Idrus Marham yang saat ini Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Setya Novanto terbelit skandal penyeludupan beras. Perusahaan miliknya, PT Hexatama Finindo, memindahkan 60.000 ton beras yang dibeli dari Vietnam dari Bea Cukai tanpa membayar pajak dengan nilai semestinya.
Menurut laporan media, bea impor yang dibayarkan cuma untuk 900 ton beras. Setnov diperiksa oleh Kejaksaan Agung pada 2006. Kasus tersebut meredup tanpa ada langkah hukum lanjutan.
3. Skandal Impor Limbah Beracun dari Singapura ke Batam tahun 2004.
Saat itu lebih dari 1000 ton limbah beracun asal Singapura mendarat di Pulau Galang, Batam. Uji laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) mengungkap, limbah yang disamarkan sebagai pupuk organik itu mengandung tiga jenis zat radioaktif, yaitu Thorium 228, Radium 226, dan Radium 228 dengan kadar 100 kali lipat di atas batas normal.
Pihak pengimpor, PT Asia Pasific Eco Lestari (APEL), saat itu dimiliki Setya Novanto. Namun, dia mengaku sudah mengundurkan diri tahun 2003. Padahal, dalam dokumen milik PT APEL tanggal 29 Juni 2004, Setya Novanto disebut sebagai pihak yang menandatangani nota kerja sama dengan perusahaan Singapura.
Kontrak yang dijalin PT APEL dengan pihak Singapura bahkan menyebut jumlah 400 ribu ton pupuk alias limbah yang akan diimpor ke Indonesia.
4. Dugaan Suap Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau tahun 2012.
Dalam kesaksiannya, mantan bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin menyebut Setya Novanto terlibat dalam kasus korupsi proyek pembangunan lapangan tembak PON di Riau tahun 2012. Setnov, yang saat itu sudah malang melintang di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), disebut menggunakan pengaruhnya buat menekan Komisi Olahraga DPR agar memuluskan anggaran PON dari APBN.
KPK pernah menggeledah ruang kerja Setnov pada 19 Maret 2013. Ia cuma diperiksa sebatas saksi dengan tersangka utama mantan Gubernur Riau Rusli Zainal. Setnov membantah tuduhan suap ini.
5. Skandal Perpanjangan Kontrak PT Freeport tahun 2015.
Pada akhir 2015 Setya Novanto kembali mencetak skandal setelah mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Dalam rekaman pembicaraan yang diajukan ke pengadilan, Ia menjanjikan perpanjangan kontrak Freeport dengan syarat diberikan jatah saham.
Namun, Setnov mengajukan uji materi atas Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyatakan bahwa rekaman tersebut tidak bisa menjadi bukti karena dianggap ilegal. Oleh Mahkamah Kehormatan Dewan, Setnov hanya dijatuhkan sanksi pelanggaran sedang dan pada April 2016 Kejaksaan Agung menyatakan kasus tersebut diendapkan.
6. Kasus Suap Akil Mochtar dari Ratu Atut Chosiyah tahun 2013.
Ketika mencuat kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh (mantan) Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, nama Setya Novanto sempat dikabarkan bakal ikut diperiksa KPK. Setnov bersama Sekjen Partai Golkar Idrus Marham disebut-sebut terlibat dalam pemberian suap kepada Akil untuk pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten. Namun, kedua petinggi Partai Golkar ini tak pernah diperiksa KPK sampai saat ini.