Alstar B Tetap Tolak Revisi PM 32/2016
Sabtu, 18 Maret 2017, 21:47 WIBBisnisnews.id - Upaya pemerintah menengahi kisruh transportasi konvensional dan online lewat revisi PM 32/2016, tetap ditolak oleh Aliansi Sopir Transport Bali yang menyatakan bahwa itu adalah harga mati.
Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Sopir Transport Bali (Alstar B), I Ketut Witra yang dihubungi melalui selulernya dari Denpasar, Sabtu (18/3/2017), saat dimintai pendapatnya terkait rencana pemerintah merevisi PM 32/2016 yang mencakup 11 poin.
Revisi itu rupanya tetap ditolak oleh seluruh anggota Alstar B. Bahkan dalam pernyataannya, Witra begitu tegas menolak beroperasinya transportasi berbasis aplikasi dan itu merupakan harga mati.
"Penolakan itu merupakan harga mati, karena telah menyakiti perasaan sopir lokal yang selama ini tidak ada masalah," tukasnya.
Rupanya kekesalan para sopir lokal terutama yang ada di Bali bukan tanpa sebab. Pasalnya apa yang mereka suarakan selama ini terhadap pemerintah dianggap tidak diakomodir.
"Kami sangat menyesalkan suara kami tidak didengar pemerintah, akibatnya kami harus ribut dengan teman sendiri," ujarnya dengan nada kesal.
Akibat dari kekesalan yang dialami, dari informasi yang dihimpun, sopir transport lokal yang tergabung di Alstar B kerap turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka.
Menurut Witra, mereka akan tetap turun ke jalan dengan sasaran demo, di antaranya, gerbang masuk Bandara I Gusti Ngurah Rai, kantor Gubernur Bali, Kantor DPRD Provinsi Bali, serta Dinas Perhubungan Bali.
"Sudah berapa kali kami demo melalui aksi "Turun Kabeh" untuk menyuarakan aspirasi kami, tapi jawaban pemerintah masih tidak jelas," ketusnya.
Lantas Witra melalui selulernya menceritakan jalannya demo "Turun Kabeh" pada hari Selasa (14/3) lalu, yang menolak angkutan aplikasi online baik Grab, Uber, maupun GoCar di Bali.
Disebutkan dalam aksinya, massa transport lokal Bali yang melakukan orasi menolak angkutan online,sempat melumpuhkan arus lalu lintas di kawasan Patung Dewa Ruci Kuta dan di sepanjang Bypass Ngurah Rai menuju Sanur.
Akhirnya mereka berkumpul di Wantilan DPRD Bali dan hanya ditemui perwakilan Dinas Perhubungan Bali dan anggota Komisi II DPRD Bali, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana, karena anggota dan Ketua DPRD Bali sedang dalam masa reses untuk menyerap aspirasi di daerah pemilihannya (dapil) masing-masing.
"Kami di DPRD Bali sejak Pebruari 2016 sudah menolak keberadaan angkutan online dan telah mengeluarkan rekomendasi penolakan angkutan online. Selama dia (angkutan online) tidak bisa memenuhi UU yang berlaku, maka dia tidak boleh beroperasi dan berkegiatan," ucap Adhi Ardhana di hadapan massa transport lokal Bali seperti yang dikutip Witra.
Adhi Ardhana mengungkapkan hal itu telah ditindak lanjuti oleh pihak eksekutif dengan beberapa kali melakukan sidak-sidak dilapangan. Namun, ia memang mengaku ada kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan sidak.
Bahkan dikatakan pihaknya telah memantau angkutan Grab dan Uber di seluruh dunia bahwa kehadiran angkutan online membuat antar kelompok masyarakat menjadi kisruh.
"Aspirasi ini akan kami terima. Di Dewan ada mekanisme untuk pembahasan hal ini. Sekali lagi saya tegaskan, jika siapapun, termasuk PTOB yang ditenggarai sebagai operasional angkutan online tidak memenuhi peraturan yang ada, maka tidak boleh melakukan segala kegiatannya," ungkapnya yang disambut tepuk tangan massa transport lokal Bali.
Dalam pertemuannya dengan transport lokal Bali dari berbagai asosiasi, setiap perwakilan pangkalan menyampaikan aspirasi yang pada intinya menolak keberadaan angkutan online baik itu Grab, Uber, maupun Go Car di Bali.
Mereka meminta pemerintah segera memblokir aplikasi angkutan online, apalagi mereka sudah diberi tenggat waktu 1 tahun untuk mengurus segala perijinannya, namun hal itu tidak kunjung dilakukan oleh pihak angkutan online.
Ketua Aliansi Sopir Transport Bali (Alstar B) selaku Koordinator Aksi "Super Kabeh" saat itu, I Ketut Witra, juga menyatakan aksi demo kesekian kalinya ini untuk mengingatkan ketegasan pemerintah pusat, pemerintah daerah, khususnya Dinas Perhubungan Bali yang selama ini dianggap bersikap sangat lembek dalam menerapkan aturan dan regulasi.
"Jika pemerintah tidak tegas lagi, maka kami akan turun terus demo ke jalan. Tuntutan kami dari dulu tetap sama, yakni menolak aplikasi angkutan online baik GrabCar, Uber, dan GoCar beroperasi di Bali. Turunkan baliho iklan angkutan di sejumlah ruas jalan di Bali," tegas Witra yang didampingi Sekretaris Alstar B, Nyoman Kantun Murjana.
Usai menyampaikan aspirasinya di DPRD Bali, massa dari aliansi gabungan asosiasi dan organisasi transport lokal se-Bali langsung menurunkan paksa semua baliho dan atribut angkutan online.
Dari sisi lain, Ketua Paguyuban Transportasi Online Bali (PTOB), I Wayan Suata dalam pernyataan sebelumnya, mengatakan kehadiran transportasi berbasis aplikasi (online) sebenarnya merupakan sebuah keniscayaan, yang mana ada pelayan konsumen dan bisnis di dalamnya, tinggal bagaimana dewasa menyikapinya.
"Kan selama ini masyarakat yang membutuhkan, kami layani. Bukan kami yang mencari mereka, tapi mereka yang mencari kami," tandas Suata.
Lantas ia juga mengatakan, jika konsumen adalah raja, janganlah lagi menampik keberadaan transportasi online, apalagi dijadikan sebagai komoditas yang diperdebatkan sampai diributkan.
"Semua ada tatanannya, sekarang jamannya teknologi, siapa yang tidak mengikuti teknologi maka ia akan terlindas. Apalagi konsumen pun dilindungi oleh lembaga perlindungan konsumen," katanya.
Suata menyarankan kepala dingin, ketegasan terukur, dan jangan mau diadu domba dalam menanggapi persoalan pro-kontra transportasi berbasis aplikasi.Baik itu menyikapi persoalan regulasi, pemerintah, bahkan gesekan sosial ketika harus berhadapan dengan teman sesama pengemudi.(marloft)