BUMN Masih Menjadi Surganya Para Koruptor, Ini Penyebabnya
Sabtu, 05 Oktober 2019, 16:00 WIBBisnisNews.di -- Banyak posisi komisaris BUMN diisi orang-orang yang tidak berkompeten, bahkan hanya sebagai jabatan politis bagi penempatan para relawan relawan Tim pemenangan Pilpres Joko widodo- JK dalam pilpres tahun 2014 silam. Tugas komisaris BUMN seharus sebagai kepanjangan tangan Menteri BUMN untuk mengawasi dan mengontrol jalannya aktivitas bisnis dan aksi korporasi di sebuah BUMN yang dilakukan Direksi dan karyawan BUMN. Faktanya, mereka tak semua mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
"Komisaris BUMN seharusnya memiliki kemampuan dibidang pengawasan, misalnya kemampuan membaca hasil laporan keuangan di BUMN dan lainnya. Tapi, hal itu tida bisa dilakukan secara optimal," kritik politisi Gerindra dan mantan Keta FSPBUMN Bersatu Arief Poyuono di Jakarta, Sabtu (5/10/2019).
Dia melanjutkan, hampir 85 persen komisaris di BUMN di era Pemerinttahan Joko Widodo - JK tidak mempunyai pengetahuan tentang bisnis dan keuangan di sebuah korporasi.
"Komisaris yang ditempatkan di BUMN Presiden Joko Widodo hanya bertujuan agar mereka (para relawan ) bisa mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan dan duduk manis. Jabatan itu hanya sebagai balas ajasa telah menduungnya saat pilpres lalu," kritik Arief.
Berbeda Dengan Temasek
Sistem pengelolaan BUMN kalah jauh dibabdingkan BUMN di Singapura. "Coba check disana jajaran komisaris di Temasek, BUMN-nya Singapore semua sangat kompeten dibidangnya," jelas Arief lagi.
Masalah lainnya, kilah Arief, Direksi BUMN yang ditempatkan melalui proses assesment pemilihannya dan fit proper test. Itu sudah bagus, namun faktor nepotism dan uang sogokan terhadap orang yang mempunyai kekuasaan di sekitar Presiden Jokowi atau yang orang dekat-nya di Kementerian BUMN lebih menentukan.
Sering terjadi, menurut Arief, terkadang banyak intervensi penguasa di Kementrian BUMN dalam penentuan posisi jabatan jajaran Direksi dan Komisaris BUMN. "Konsekuensinya, mau tak mau mereka harus mengembalikan modal saat pencalonan dulu," sebut Arief.
Ketiga, menurut Arief, adalah masalah "corrupt behaviour" yang masih melekat di para jajaran Direksi BUMN atau Komisaris BUMN.
Faktor keempat, terang Arief, karena banyak Direksi BUMN yang tertekan oleh elit-elit politik untuk berbisnis dengan cara cara yang korup. Ambil conotoh, mantan Dirut PLN Sofyan Baasyir, dakam kasus LTU Riau, dia hanya menjadi korban oknum elit politik .
Kelima, tambah Arief, makin banyak "anak perusahaan" di berbagai BUMN yang dibentuk. Akibatnya justru menjadi penyebab "high cost business" di BUMN induknya. "Kondisi tersebut menjadi tempat untuk menyuburkan praktek korupsi di BUMN," tegas Arief.(helmi)