Harga BBM dan Potensi Gagal Bayar Pertamina Di Tengah Pandemi
Kamis, 23 April 2020, 08:36 WIBBisnisNews.id -- Pertamina baru saja mempromosikan kebijakan harga BBM khusus bagi pengendara ojek online (ojol). Promosi berlaku 14 April-12 Juli 2020 memakai aplikasi MyPertamina (13/4/2020). Sehari kemudian Komut Pertamina, Ahok ikut promosi via twitter yang banyak dikritik. Para pengeritik mempertanyakan mengapa komut terlibat ranah operasional. Ada yang menganggap kebijakan tidak adil karena hanya berlaku bagi ojol, tidak kepada pengemudi moda transportasi lain yang terdampak korona. Ada yang curiga program terkait kepentingan politik atau bisnis pemegang saham aplikasi ojol.
Kita tidak paham apakah berbagai kritik tersebut valid atau bias. Namun jika promosi dicetuskan pertama kali oleh marketing Pertamina, maka ikut sertanya Ahok bisa untuk memperluas penyebaran promo, menunjukkan andil atau peran Ahok, atau karena para die-hards ingin terus mempromo Ahok yang secara legal sebenarnya tidak qualified menjadi komut.
Kita maklum jika Pertamina mungkin ingin berempati dengan kondisi ekonomi rakyat. Di samping itu, bisa pula ada motif bisnis bersifat strategis dan berjangka panjang yang tidak utuh terpahami. Namun karena dampak pandemi sangat luas, keadilan dan empati jadi penting. Sehingga, jika tidak terkendala dana, diharap ada program susulan yang lebih adil dan merata.
Bersamaan dengan isu “BBM ojol”, akhir-akhir ini publik pun mempertanyakan kebijakan harga BBM yang tak kunjung turun. Padahal harga minyak dunia sudah turun cukup rendah. Sesuai formula harga berdasar Perpres No.191/2014 dan No.43/2018, serta sejumlah Permen ESDM yang merujuk perpres, maka harga BBM seharusnya sudah turun. Mengapa tidak turun?
Terlepas apakah Pertamina kelak akan meluncurkan program susulan atas promo BBM ojol dan pemerintah akhirnya menurunkan harga BBM, sebenarnya publik perlu paham dan concern terhadap hal yang jauh lebih penting. Bahwa keuangan Pertamina berpotensi *sangat bermasalah akibat kebijakan pemerintah selama ini dan semakin bermasalah akibat korona*. Hal ini menyangkut *survival korporasi dan nasib pelayanan energi* bagi publik ke depan.
Profitabilitas perusahaan yang bergerak pada bisnis hulu dan hilir migas tergantung pada fluktuasi harga minyak dunia. Dalam kondisi normal, bagi perusahaan terintegrasi dari hulu ke hilir (bundled), saat harga minyak di hulu naik profitabilitas akan naik, karena penerimaan sisi hulu pasti naik dan masih ada pula untung sisi hilir. Saat harga di hulu turun dan sisi hulu merugi, secara keseluruhan perusahaan masih untung karena bisnis hilir bisa untung lebih besar.
Di Tengan Kondisi Pandemi
Namun dalam kondisi pandemi Covid-19, situasinya berbeda. Akibat pandemi korona, penurunan konsumsi BBM/minyak di sektor transportasi, industri dan komersial, membuat demand minyak turun 16-20 juta barel per hari (bph). Biasanya konsumsi minyak global sekitar 100 juta bph, seimbang dengan produksi pada level 100 juta bph.
Dengan pandemi korona, rata-rata over supply minyak dunia sekitar 20 juta bph, dan hal ini menyebabkan harga minyak turun ke level US$ 20-an per barel, terendah dalam 20 tahun. Untuk “memulihkan” harga rendah ini negara-negara penghasil minyak OPEC dan non-OPEC, (disebut OPEC+) telah melakukan negosiasi penurunan produksi melalui teleconference.
Pada perundingan OPEC+ pertama pada 6 Maret 2020 antara Arab Saudi (pordusen terbesar OPEC) dan Rusia (produsen terbesar ke-2 non-OPEC setelah AS) negosiasi gagal. Pada perudingan OPEC+ kedua pada 9 April 2020, para pihak berhasil sepakat mengurangi produksi hingga 9,7 juta bph, berlaku mulai Mei 2020.
Ternyata pada 17 April 2020 harga minyak kembali turun menjadi US$ 18-an per barel, terutama karena pemangkasan produksi OPEC+ yang disepakati sebelumnya tidak cukup besar mengimbangi penurunan konsumsi akibat korona. Tangki-tangki penyimpanan negara-negara yang ingin menimbun sudah penuh. Dampak over supply ini pulalah yang dirasakan Pertamina.
Dalam rapat dengar pendapat via teleconference dengan Komisi VII DPR (16/4/2020) Dirut Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan penjualan retail BBM turun sekitar 16,78% dan aviasi turun rata-rata harian 45%. Nicke mengatakan, karena permintaan yang turun tersebut, Pertamina akan menghentikan operasi kilang Balikpapan pada Mei 2020. Dalam satu simulasi harga minyak dan kurs US$ pada level tertentu, pendapatan korporasi bisa turun hingga 45%.
*Dr. Marwan Batubara, Direktur IRESS dan pengamat energi/ hel