Logistik Dan Distribusi Jalur Kritis Dalam Operasi Bisnis Pertamina
Rabu, 15 Januari 2020, 12:43 WIBBisnisNews.id -- PT Pertamina sebagai sebuah perusahaan yang bergerak dalam industri energi, khususnya minyak dan gas bumi (migas), maka Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan salah satu cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, Pertamina harus dikelola proses usaha atau bisnisnya secara efektif, efisien dan profesional.
"Pertamina tentu dan pasti memiliki jaringan usaha dari hulu (upstream) sampai ke hilir (downstream) bisnis migas ini," kata Defiyan Cori Ekonom Konstitusi dalam suarat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Menurutnya, kegiatan operasi migas yang umum dikenali publik, mulai dari eksplorasi, ekploitasi, pengolahan, pengadaan pengangkutan, distribusi, penyimpanan sampai ke pemasarannya. "Dalam teori ilmu manajemen dikenal sebagai manajemen produksi dan ini merupakan bisnis inti (core business) Pertamina," kata Defiyan.
Berkaitan dengan keluhan dan kejengkelan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap besarnya defisit migas yang diakibatkan oleh impor migas sehingga mengakibatkan defisit transaksi berjalan, maka kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut.
Pertamam, papar Defiyan, Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan perlu melakukan konfirmasi atas manajemen logistik dan distribusi migas dari Pertamina yang dahulu memilki kapal tanker. Lalu dijual saat Menteri BUMN dijabat Laksamana Sukardi.
"Saat itu, tanggal 11 Juni 2004, ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541. Sedang kapal itu masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan dan mengklaim penjualan kapal very large crude carrier (VLCC) milik Pertamina itu memperoleh untung sejumlah US$ 53 juta," jelas Defiyan.
Kedua, papar Defiyan, maka pertanyaannya adalah, apakah kepemilikan kapal Pertamina merupakan bagian penting dari kegiatan logistik dan distribusi Pertamina yang mampu menekan Biaya Proses Produksi atau Harga Pokok Penjualan (HPP) produk BBM.
"Dampaknya adalah pada harga juak ke konsumen? Atau ini merupakan biaya yang membuat produksi atau operasi Pertamina tidak efisien dan efektif," aku pengamat muda itu.
Ketiga, menurut Defiyan, apakah tidak terlalu penting bagi Pertamina memiliki kapal pengangkutan migas sendiri dibandingkan dengan menyewa pada perusahaan swasta?
"Kalaupun biaya sewa kapal lebih efisien dan efektif, tentu akan berpengaruh pada murahnya harga BBM, namun faktanya sejak Pertamina tidak memiliki kapal harga BBM justru naik terus, walaupun kurs dollar atas rupiah melemah atau harga MOPS turun," kilah Defiyan lagi.
Keempat, menurut dia, masalah ini perlu dipertanyakan oleh Presiden Jokowi, karena hal ini tidak saja berpengaruh pada harga jual BBM. "Tapi juga berkaitan dengan kecepatan dan ketepatan pasokan (supply) BBM ke Pertamina, baik itu yang berasal dari impor maupun produksi dalam negeri yang akan berpengaruh ke hilir dan konsumen akhir juga," tukas Defiyan.
Dibandingkan dengan keluhan masalah impor migas yang berkaitan dengan kekurangan produksi atas konsumsi BBM di dalam negeri, menurut Defiyan, maka masalah utamanya lebih disebabkan oleh investasi sektor hulu energi dibawah tanggungjawab SKK Migas.
Sebagai pembanding dalam konteks logistik dan distribusi sebagai bisnis inti, papar Defiyan, yaitu perusahaan makanan PT. Indofood Sukses Makmur yang memilki lebih dari 300 armada jaringan logistik dan distribusinya sehingga produk dan harga produknya dapat terjangkau oleh konsumen.
Tentu, aku Defiyan, ada yang aneh dalam pencopotan Direktur Logistik Supply Chain dan Infrastruktur Pertamina apabila yang bersangkutan justru hendak membenahi jalur kritis (critical path) operasi bisnis inti Pertamina ini.
"Hal itu penting untuk membenahi kinerja Pertamina menjadi tambah baik, atau apakah sebaliknya yang terjadi pada kebijakannya," tandas Defiyan.(nda/helmi)