Ini Biang Keladi Defisit Transaksi Berjalan Tahun 2019
Sabtu, 16 November 2019, 16:30 WIBBisnisNews.id -- Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan yang cukup parah. Hal itu terjadi karena nilai ekspor Indonesia, selalu dibawah impornya. Parahya lagi, trend kenaikan impor terus terjadi di tahun 2019 ini.
"Sediktnya ada tiga penyebab utama secara ekonomi yang menyebabnya terjadinya edesifit transaksi berjalan," kata peneliti Assosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng di Jakarta.
Menurut dia, pertama, karena Indonesia kebanyakan impor akibat pelemahan dalam perdagangan, atau kalah telak dalam bersaing di bidang perdagangan.
"Hal ini mengakibatkan surplus perdagangan terus mengecil. Bahkan perdagangan Indonesia mencapai rekor terburuk pada tahun 2018 karena neraca perdagangan mengalami defisit untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir," kata Daeng lagi.
Akibatnya, lanjut dia, neraca transaksi berjalan defisit sangat besar yakni mencapai Rp426.7 triliun.
Kedua, menurut Daeng, kerana ekonomi bersandar pada utang luar negeri dan utang dalam mata uang asing. Implikasinya mengakibatkan aliran keuntungan investasi asing dalam fortofolio utang mengalir ke luar negeri dengan sangat deras.
"Indikasi ini ditunjukkan oleh defisit pendapatan primer. Bahkan defisit pendapatan primer mencapai rekor tertinggi dalam 10 tahun terakhir yakni pada tahun 2017," jeas Daeng.
Ketiga, sebut Daeng, karena uang kabur dari Indonesia yang disebabkan Investasi swasta dan asing dalam investasi langsung dengan melakukan re-investasi di Indonesia. Namun, mereka enggan menempatkan keuntungannya dalam investasi baru atau menempatkan di bank-bank dalam negeri.
Sebaliknya, keuntungan tersebut diangkut ke negara dari mana investasi itu berasal atau ke negara lain. "Indonesia menganut sistem devisa bebas, sehingga siapapun bebas memindahkan uang hasil keuantungannya di Indonesia ke luar negeri," kilah Daeng.
Namun begitu, menurut Daeng, defisit transaksi berjalan tidak semata-mata karena faktor ekonomi. Ada pula penyebab secara politik.
"Para pengambil kebijakan ekonomi gagal dalam menjalankan roda perekonomian dengan baik terutama dalam satu dasawarsa terakhir. Banyak elemen Pemerintah dan DPR ditenggarai dikendalikan oleh para importir," papar Daeng.
Pengambil keputusan dalam Pemerintahan, menurut Daeng, semakin tergantung pada utang, sehingga kebijakan pun dibuat untuk menghasilkan keuntungan sebesar besarnya bagi para rentenir pemberi utang.
"Semoga orang orang ini bisa digigit “tangannya sampai putus” oleh Bapak Presiden Jokwoi, sehingga mereka tidak dapat lagi berbuat untuk kepentingan modal asing, importir dan para rentenir," tegas Daeng.(nda/helmi)