Menyoal Penurunan Impor Migas Di Tahun 2019
Rabu, 27 November 2019, 06:14 WIBBisnisNews.id -- Selama bulan Januari hingga Mei 2019, impor migas memang tercatat menurun hingga 23,77%. Penurunan impor migas itu lebih disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1.766,5 juta (43,74%), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44%), dan gas US$24,2 juta (2,14%).
Walaupun data BPS menunjukkan perbaikan kinerja sektor perdagangan migas yaitu, impor migas di bulan Mei 2019 yang mencapai US$ 2,09 Miliar atau setara Rp 29,6 Triliun turun 6,41% dibanding April 2019 yang menyentuh US$ 2,23 Miliar atau setara Rp31 triliun.
Penurunan impor migas juga lebih dipicu oleh turunnya nilai impor hasil minyak atau BBM sebesar US$ 263,6 juta atau 18,29% dan impor gas turun US$ 59,5 juta atau 18,13%.
Tetapi, faktanya memang masih terdapat impor yang naik secara signifikan, yaitu impor minyak mentah atau crude sebesar 38,59%. Impor minyak mentah pada bulan Mei 2019 mengalami kenaikan, yaitu sebesar US$ 645,4 juta dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 465,7 juta.
Upaya perbaikan kinerja sektor migas ini sudah menunjukkan tanda yang cukup positif dalam 5 (lima) bulan terakhir. Pada empat bulan pertama di 2019, defisit neraca migas hanya sebesar US$ 2,76 miliar, dan sudah mulai mengalami penurunan dibandingkan Tahun sebelumnya (2018) yang sebesar US$ 3,89 miliar.
Penurunan ini terbantu oleh upaya pemerintah dalam menurunkan impor, misalnya melalui kebijakan yang memberi mandat kepada Pertamina untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya dijual ke luar negeri. Hanya saja, hal ini juga membuat ekspor migas mengalami penurunan.
PT Pertamina (Persero) mencatat hingga Juni 2019 telah membeli 116,9 ribu barel per hari minyak mentah atau crude.
Defisit Migas Tak Bisa Dihindari ?
Sementara itu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan berdalih dan menyampaikan bahwa kondisi defisit migas memang tak bisa dihindari dengan konsumsi yang semakin tinggi, yakni bisa mencapai 1,7 juta barel sehari di tahun mendatang.
Sementara, produksi terus merosot yakni tak sampai 800 ribu barel per hari. “Jadi sisanya harus impor. Tapi, sekarang kan kita banyak energi terbarukan,” jelasnya saat dijumpai di kantornya, Rabu (8/7/2019).
Masalahnya adalah apologisasi defisit migas ini telah terjadi saat Menko Kemaritiman masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresiden dan sampai saat ini tak ada perubahan apapun, tentu saja hal ini yang membuat Presiden menyimpulkan tak ada kemajuan (progress) yang signifikan serta mempertanyakan efektifitas koordinasi energi yang bersangkutan.
Permasalahan yang disampaikan oleh Presiden dalam rapat koordinasi di istana Bogor bukanlah berkaitan dengan menurunnya impor migas dalam 5 (lima) bulan terakhir dan lebih merupakan kinerja yang dicapai oleh BUMN Pertamina, namun mengapa defisit migas tak bisa diatasi oleh tim ekonomi kabinet?
Sekali lagi, pertanyaan Presiden pada rapat koordinasi di istana Bogor itu adalah permasalahan defisit migas yang masih terjadi, dan bukan soal menurunnya impor migas. Artinya, pertanyaan Presiden Jokowi dengan jawaban yang telah disampaikan oleh Menteri terkait adalah tidak tepat. Kalau pertanyaan itu terkait dengan soal ujian siswa nasional, maka jawaban anda atas pertanyaan Presiden adalah SALAH.
*Defiyan Cori, ekonom konstitusi