Menyongsong Kendaraan Bermotor Listrik di Indonesia
Selasa, 03 September 2019, 09:03 WIBBisnisNews.id - Kendaraan bermotor listrik bukan sekedar eforia industri, namun sebelum dikembangkan di Indonesia sangat diperlukan sinergitas kebijakan dan indikator kinerja utama antara kementerian dan lembaga yang terkait. Selama ini terjadi, akibat kurangnya sinergitas itu telah menyebabkan permasalahan di hilir, seperti kemacetan, polusi udara, pemborosan energi, tingginya angka kecelakaan, ketidaktertiban berlalu lintas.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dinilai cukup positif untuk menekan polusi sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, kebijakan itu semestinya secara simultan mampu mengurangi kemacetan lalu lintas, menekan angka kecelakaan, mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
Oleh karena itu, insentif pengembangan transportasi umum menggunakan kendaraan bermotor listrik harus diberikan lebih besar ketimbang insentif pengembangan untuk kendaraan pribadi listrik. Jika benar-benar serius, untuk transportasi umum harus lebih diprioritaskan. Kalau tidak begitu, polusi berkurang, namun kemacetan tak berkurang, hanya berganti moda.
Tidak mengurangi mobilitas menggunakan kendaraan pribadi. Terlebih, tujuan dari menggunakan energi tidak dari fosil bukan hanya mengurangi polusi udara, namun dapat pula mengurangi kemacetan dan menekan angka kecelakaan.
Selain itu, apabila pemerintah juga ingin mendorong pengembangan sepeda listrik, perlu ada pembatasan kecepatan. Kapasitas silinder dibuat kurang dari 100 sentimeter kubik, sehingga akselerasinya tidak secepat sepeda motor yang ada sekarang. Tujuannya adalah untuk menekan angka kecelakaan, sekaligus mengondisikan pengendara agar menggunakan transportasi umum untuk perjalanan jarak jauh, sudah tidak memakai sepeda motor lagi.
Kebijakan pemerintah juga harus mencakup aspek penghematan pemakaian bahan bakar minyak (BBM). Daerah-daerah di Indonesia yang selama ini sulit mendapatkan BBM seharusnya didorong sekalian untuk langsung memanfaatkan listrik sebagai energi penggerak kendaraan di daerah tersebut.
Penggunaan kendaraan elektrik seperti itu sudah dilakukan di Asmat, Papua. Gugusan pulau-pulau kecil atau daerah kepulauan, kawasan pariwisata dapat didorong. Seperti kawasan wisata Pulau Gili Trawangan di Lombok, tidak mengijinkan kendaraan bermotor beroperasi, sepeda listrik boleh dipakai. Wilayah pulau-pulau kecil, daerah terdepan dan terpencil, didorong pemakaian kendaraan bermotor listrik.
Ibu kota negara baru yang sedang disiapkan di Kalimantan Timur, sejak awal sebaiknya sudah dirancang sebagai kota pejalan kaki dan dilayani sarana transportasi ramah lingkungan. Sarana transportasi umum yang beroperasi menggunakan kendaraan bermotor listrik.
Apabila perlu, di kawasan tertentu dalam lingkungan ibukota negara baru nantinya juga diwajibkan memakai kendaraan bermotor listrik. Selain itu pula wajib menyediakan fasilitas jalur pejalan kaki dan pesepeda.
Kepentingan riset dan pengembangan kendaraan bermotor listrik di berbagai perguruan tinggi dan lembaga terkait hendaknya harus ditumbuhkan. Riset kendaraan elektrik sudah lama dilakukan di banyak perguruan tinggi.
Indonesia bukan sekedar menjadi pasar kendaran bermotor listrik, namun dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada dan sumber daya manusia yang mumpuni, harus bisa memproduksi sendiri kendaraan bermotor listrik.
Indonesia harus berdaulat kendaraan bermotor listrik. Bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri, namun bisa diekspor le luar negeri.
*Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi FT Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat